3 UTS-3 My Stories for You
Ada hari-hari yang nggak akan pernah hilang dari ingatan kita. Buat saya, salah satunya adalah hari pengumuman UTBK. Ujian itu bukan cuma sekadar tes—ini adalah puncak dari semua usaha, harapan keluarga, dan momen pembuktian diri.
Rasanya mencekik banget hari itu. Jantung dag-dig-dug, napas kayak tertahan, saat jari saya mengetik nomor peserta dan menekan 'Enter'.
Tiba-tiba, yang muncul cuma layar biru. Ironis banget, dengan tulisan yang rasanya malah seperti mengejek: "JANGAN PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT!"
Saya nggak lulus. Pilihan pertama maupun kedua. Rasanya bukan cuma sedih—saya benar-benar hancur. Saya merasa jadi anak yang gagal, udah ngecewain orang-orang yang paling saya sayangi. Air mata nggak bisa dibendung lagi. Suara Mama Papa yang coba menenangkan malah bikin tangisan saya makin pecah, karena rasa bersalah itu begitu dalam menusuk.
Saya membiarkan diri tenggelam dalam kekecewaan itu dulu. Tapi setelah air mata kering dan hari-hari penuh penyesalan berlalu, ada satu hal yang mulai saya sadari: kegagalan ini cuma sebuah titik, bukan akhir dari cerita saya.
Tekad saya masih sama kok, cuma jalannya aja yang sekarang harus berbeda. Dan saya sadar saya hanya memiliki diri sendiri untuk bisa maju, berjuang sendiri tanpa harus dibantu orang lain. Karena bukan hanya saya saja yang berada di posisi ini, banyak dari mereka diluar sana yang juga berada di posisi yang sama dengan saya.
Pada akhirnya saya daftar seleksi mandiri ITB. Jujur, ini langkah yang penuh keraguan. Orang tua saya juga nggak sepenuhnya yakin, dan saya sendiri sadar banget betapa sulitnya masuk STEI ITB. Tapi atas dorongan mereka untuk "coba aja dulu", saya mempersiapkan diri tanpa berharap terlalu tinggi—lebih karena saya nggak mau nyerah begitu aja.
Sampailah hari pengumuman yang kedua. Kali ini, saya nggak berani berharap apa-apa. Saya sibukkan diri, coba ngalihkan pikiran dari ketakutan akan kegagalan lagi.
Saat buka hasil seleksi, rasanya dunia berhenti sejenak. Saya lolos.
Campur aduk banget perasaannya—senang, haru, takut, sampai nggak percaya. Saya berhasil masuk ke salah satu fakultas dengan persaingan paling ketat di Indonesia. Tapi yang paling berharga dari semua ini adalah melihat reaksi orang tua saya.
Melihat senyum dan kebahagiaan di wajah mereka—senyum yang sempat hilang karena saya—itu pembuktian yang sebenarnya buat saya.
Cerita ini ngajarin saya kalau kesuksesan tiap orang itu punya jalannya sendiri-sendiri. Kadang, jalan itu harus lewat pintu kegagalan dulu.
Hari itu, saya berjanji sama diri sendiri: kelulusan ini bukan akhir, tapi justru awal dari pembuktian yang sesungguhnya—untuk terus berjuang dan jadi versi terbaik dari diri saya.